Entri Populer

Senin, 26 September 2011

GADIS JALANG DAN PENYIHIR

Mataku terus menatap ke sosok itu. Gadis mungil, dengan gaun anak-anak yang lusuh berwarna merah muda, menggenggam sebuah harmonika dan tongkat putih pucat yang panjang di tangannya yang mungil. Gadis itu meringkuk di trotoar di depan sebuah kios yang sudah tutup di antara keramaian kota di malam hari, wajahnya hampa.
Aku memerhatikannya lama sekali tanpa gadis kecil itu sadar sedang kuperhatikan. Aku mengawasi gerak-geriknya di balik kaca kafe tempat di mana aku beristirahat, dan ia takkan bisa melihatku di sini karena gedung kafe ini berseberangan dengan kios tutup tempat anak itu meringkuk di depannya. Namun bila aku memerhatikannya dari dekat sekalipun sepertinya ia takkan menggubrisku sama sekali; sama seperti ketika ia tak menggubris puluhan orang yang lalu-lalang di depannya, memandang gadis itu dengan tatapan aneh...
Setidaknya seminggu dua kali setelah aku diterima bekerja di sebuah perusahaan produksi hiburan ternama di kota ini, aku selalu menyempatkan diri untuk hang-out sejenak seraya melepas kepenatan setelah berjam-jam bekerja. Kafe ini pilihanku. Aku pergi ke tempat ini sendirian atau ditemani beberapa teman, yang jelas suasananya kunikmati. Terkadang ada beberapa anak jalanan atau pengemis yang meminta-minta di sepanjang trotoar jalan yang ramai ini, semuanya wajar dan dapat dikenali. Dan anak ini? Aku baru melihatnya, dan—seperti kesan orang lain yang terbaca dari wajah mereka—anak ini aneh. Biarpun mengenakan gaun kumuh, tapi tetap saja itu gaun; rasanya kurang lazim untuk pengemis memakai gaun. Lalu kuperhatikan harmonika dan tongkat putihnya. Kedua mainan itu usang, namun tak berarti tak terawat. Terlalu banyak tanda perbaikan terlihat dari keduanya, meskipun aku melihatnya dari tempat jauh. Seakan-akan gadis itu ingin mempertahankan kesannya secara paksa, sebagai peri-perian atau apapun itu namanya. Tapi tetap saja itu ganjil bagiku.
Lalu siapa sebenarnya gadis itu? Apa yang dinantikannya, sejak tadi hanya meringkuk pilu sambil menggenggam boneka lusuh dan tongkat putih pucat?
Langit semakin gelap dan anak itu tetap saja meringkuk sendirian. Rasa penasaranku seperti dipermainkan. Akhirnya, menit berikutnya, kubiarkan kakiku melangkah keluar kafe dan berjalan menghampirinya.
“Sedang apa kau sendirian di sini, nak?” tanyaku setelah menghampirinya.
Gadis itu tidak langsung menjawab; ia masih sibuk meringkuk. Aku menatapnya dari dekat lama sekali, menunggunya, sampai akhirnya ia mengangkat kepalanya dan berkata, “aku sedang menunggu penyihir datang.”
“Penyihir?” Aku mengangangkat alis. “Oh, ayolah, nak, mana ada yang seperti itu? sebaiknya kau lekas pulang, karena langit sudah gelap sekarang..”
“Tidak mau,” katanya keras dengan nada tidak-bisa-ditawar-tawar-lagi.
Aku tersenyum dengan rasa setengah penasaran setengah geli. Penyihir, katanya. Rupanya gadis ini sedang berkhayal. Tidak ingin mengecewakan angan kekanakannya, dan alih-alih membujuknya pulang lagi, aku malah bertanya, “memangnya apa yang kau harapkan dari penyihirmu itu?”
“Aku ingin agar dia menyihirku menjadi seorang putri yang kaya raya dan terkenal supaya aku tidak menderita lagi!” katanya polos biarpun ada secercah nada berharap dalam suaranya. “Oleh karena itu aku memakai gaunku satu-satunya, supaya saat penyihir datang dia melihatku dan menganggap aku pantas disihir menjadi orang kaya, bukan pengemis seperti teman-temanku..”
Kugelengkan kepalaku lembut-lembut dan tersenyum tipis, “nak, kebahagiaan bukan hanya terlihat dari kaya atau terkenal atau apapun—“
“Tapi aku tidak bahagia, aku menderita!” bentaknya tiba-tiba, “memangnya siapa kakak? Kakak sama sekali tidak mengenalku, tidak merasakan kepedihanku dan Ayah dan Ibu dan teman-temanku dan semuanya yang terus membanting tulang untuk bertahan hidup, diinjak-injak harga dirinya oleh orang-orang atas dan kaya seperti kakak!”
“Nak—“
Dia melanjutkan tanpa menghiraukanku, sekarang berteriak-teriak sehingga semua orang di jalan mendengarnya, “AKU BENCI HIDUP SEPERTI INI!! MENJADI JALANG DI JALANAN SEPERTI INI!! SEANDAINYA SAJA.. SEANDAINYA SAJA AKU JADI ORANG KAYA SUPAYA BISA MENGHAPUS SEMUA PENDERITAAN!! U..UKH..” air mata keluar dari sudut matanya.
Aku tediam menatapnya lama sekali, iba, sampai akhirnya berkata dingin kepadanya, “penyihirmu tidak akan datang.”
“Kenapa?” Tanyanya dengan nada yang agak pelan.
“Karena kau tidak mau berusaha dengan keras, jadi permintaanmu takkan terkabul.”
“Tapi aku sudah berusaha! Aku sudah berharap supaya penyihir datang dan menyihirku jadi kaya raya!”
“Dan itu semua tak cukup, perlu lebih dari sekedar usaha seperti itu untuk mencapainya nak,” kataku. Lalu tiba-tiba teringat dalam benakku memori masa kecilku, “tahukah kau, bahwa dulu aku juga jalang di jalanan sepertimu?”
Seperti yang sudah kuduga, dia tersentak kaget. “Tidak mungkin!” katanya.
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” balasku, “ya, aku sama sepertimu. Aku juga menderita. Namun aku tidak mengganti pakaian compang-campingku dengan jas atau semacamnya dan berharap supaya penyihir datang dan menyihirku. Tapi aku terus berusaha dan belajar dari penderitaanku. Lalu mulai saat itu, penderitaan yang membawaku maju, bukan diriku yang diseret oleh penderitaan—“
“—dan inilah hasilnya,” kataku akhirnya. Gadis itu memandang bergantian dengan kagum dari mulai setelan jas mahal, jam tangan emas sampai sepatu merk italia berkilau yang kukenakan.
“Aku... aku... aku ingin seperti kakak,” katanya malu-malu. “Bagaimana caranya?”
Berpikir sejenak, aku balik bertanya, “siapa namamu?”
Dia mengulurkan harmonika yang dari tadi digenggam tangannya terus-menerus. Di permukaannya tampak goresan-goresan cacat bertuliskan, “milik Adinda Siti Hajar”
“Bagus,” kataku. “Apakah kau sering memainkannya? Itukah bakatmu?”
Ia mengangguk.
“Hmm, bagaimana kalau nanti kau, eh, memainkannya di tempat yang agak besar, studio musik misalnya? Apa kau mau?”
“Tentu saja, itu cita-citaku.”
“Oke,” kataku senang. “Bagaimana kalau kita mendiskusikan hal ini sambil makan malam? Sepertinya kau sangat lapar..” Hatiku sedikit miris melihat badannya yang terkulai lemas karena kurang gizi dan makanan.
Ia mengangguk setuju; kami berdua makan malam di kafe faforitku—Adinda makan sangat lahap—dan setelah makan dia memainkan sebuah lagu dari harmonikanya sebagai tanda terima kasih. Penampilannya tidak sia-sia, bahkan sangat mengagumkan. Seluruh orang di kafe beraplaus untuknya dan dia tersenyum bangga. Tentu saja aku akan merekrut bakal bintang seperti ini ke dalam tim produksi hiburanku dan menjadikannya seorang yang benar-benar bersinar. Adinda setuju dengan usulku dan berjanji akan berusaha sebisanya. Setelah beberapa saat, dengan tiba-tiba ia berlari keluar menuju tong sampah dan melempar tongkat putihnya.
“Kenapa kau membuangnya?” tanyaku.
“Yah, tadinya kupikir dengan tongkat itu penyihir bakal datang dan menyihirku.. tapi seperti yang kakak katakan, ia takkan datang,” katanya. “Dan sekarang aku tahu, hanya akulah yang benar-benar bisa menyihir diriku sendiri untuk menjadi besar dan kaya raya.”


MUHAMMAD AMIRUDIN AZIZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar