by adlina oktaviani
Tak menyangka bisa seperti ini
Bisa kenal dengan mu
Dari awal ku mengenalmu
Ada perasaan dalam hati
Bahwa ku tlah jatuh hati padamu
Ku tlah jatuh hti dnganmu
Rasanya seprti terbang kelangit
Dan ku sadar bahwa..
Ku tak pantas untkmu
Aku ingin mengenal masamasa indah denganmu
Aku ingin mengungkapkan perasaan ini
Tapi itu tdk mungkn karena aku adlah wanita.
Selasa, 27 September 2011
Menunggu
by atika sururi
Tak tahukah kau seperih apa perasaan hati yang tak terbalas? Menanti sesuatu yang tak kunjung datang?
Hari berganti hari, tetapi arah hatiku tak pernah berubah. Selalu tertuju kepadamu. Aku tak pernah jenuh menunggu, menunggu u/ kau cintai. Namun kau hanya menganggapku lalu. Seperti tak kasat mata aku bagimu.
Terkadang lelah menyuruhku menyerah, memintaku berhenti melakukan semuanya. Dan mulai mencari cinta baru.
Namun, bagaimana mungkin aku sanggup melalukannya, kalau semua tentangmu mengikuti seperti bayangan menempel di bawah kakiku?
Dan bagaimana pula caranya membakar habis semua rindu yang bertahun-tahun mengendap di hatiku?
Aku berharap mendapatkan jawaban darimu. Namun, kau tetap bisu, membuatku lebih lama menunggu
Tak tahukah kau seperih apa perasaan hati yang tak terbalas? Menanti sesuatu yang tak kunjung datang?
Hari berganti hari, tetapi arah hatiku tak pernah berubah. Selalu tertuju kepadamu. Aku tak pernah jenuh menunggu, menunggu u/ kau cintai. Namun kau hanya menganggapku lalu. Seperti tak kasat mata aku bagimu.
Terkadang lelah menyuruhku menyerah, memintaku berhenti melakukan semuanya. Dan mulai mencari cinta baru.
Namun, bagaimana mungkin aku sanggup melalukannya, kalau semua tentangmu mengikuti seperti bayangan menempel di bawah kakiku?
Dan bagaimana pula caranya membakar habis semua rindu yang bertahun-tahun mengendap di hatiku?
Aku berharap mendapatkan jawaban darimu. Namun, kau tetap bisu, membuatku lebih lama menunggu
Senin, 26 September 2011
GADIS JALANG DAN PENYIHIR
Mataku terus menatap ke sosok itu. Gadis mungil, dengan gaun anak-anak yang lusuh berwarna merah muda, menggenggam sebuah harmonika dan tongkat putih pucat yang panjang di tangannya yang mungil. Gadis itu meringkuk di trotoar di depan sebuah kios yang sudah tutup di antara keramaian kota di malam hari, wajahnya hampa.
Aku memerhatikannya lama sekali tanpa gadis kecil itu sadar sedang kuperhatikan. Aku mengawasi gerak-geriknya di balik kaca kafe tempat di mana aku beristirahat, dan ia takkan bisa melihatku di sini karena gedung kafe ini berseberangan dengan kios tutup tempat anak itu meringkuk di depannya. Namun bila aku memerhatikannya dari dekat sekalipun sepertinya ia takkan menggubrisku sama sekali; sama seperti ketika ia tak menggubris puluhan orang yang lalu-lalang di depannya, memandang gadis itu dengan tatapan aneh...
Setidaknya seminggu dua kali setelah aku diterima bekerja di sebuah perusahaan produksi hiburan ternama di kota ini, aku selalu menyempatkan diri untuk hang-out sejenak seraya melepas kepenatan setelah berjam-jam bekerja. Kafe ini pilihanku. Aku pergi ke tempat ini sendirian atau ditemani beberapa teman, yang jelas suasananya kunikmati. Terkadang ada beberapa anak jalanan atau pengemis yang meminta-minta di sepanjang trotoar jalan yang ramai ini, semuanya wajar dan dapat dikenali. Dan anak ini? Aku baru melihatnya, dan—seperti kesan orang lain yang terbaca dari wajah mereka—anak ini aneh. Biarpun mengenakan gaun kumuh, tapi tetap saja itu gaun; rasanya kurang lazim untuk pengemis memakai gaun. Lalu kuperhatikan harmonika dan tongkat putihnya. Kedua mainan itu usang, namun tak berarti tak terawat. Terlalu banyak tanda perbaikan terlihat dari keduanya, meskipun aku melihatnya dari tempat jauh. Seakan-akan gadis itu ingin mempertahankan kesannya secara paksa, sebagai peri-perian atau apapun itu namanya. Tapi tetap saja itu ganjil bagiku.
Lalu siapa sebenarnya gadis itu? Apa yang dinantikannya, sejak tadi hanya meringkuk pilu sambil menggenggam boneka lusuh dan tongkat putih pucat?
Langit semakin gelap dan anak itu tetap saja meringkuk sendirian. Rasa penasaranku seperti dipermainkan. Akhirnya, menit berikutnya, kubiarkan kakiku melangkah keluar kafe dan berjalan menghampirinya.
“Sedang apa kau sendirian di sini, nak?” tanyaku setelah menghampirinya.
Gadis itu tidak langsung menjawab; ia masih sibuk meringkuk. Aku menatapnya dari dekat lama sekali, menunggunya, sampai akhirnya ia mengangkat kepalanya dan berkata, “aku sedang menunggu penyihir datang.”
“Penyihir?” Aku mengangangkat alis. “Oh, ayolah, nak, mana ada yang seperti itu? sebaiknya kau lekas pulang, karena langit sudah gelap sekarang..”
“Tidak mau,” katanya keras dengan nada tidak-bisa-ditawar-tawar-lagi.
Aku tersenyum dengan rasa setengah penasaran setengah geli. Penyihir, katanya. Rupanya gadis ini sedang berkhayal. Tidak ingin mengecewakan angan kekanakannya, dan alih-alih membujuknya pulang lagi, aku malah bertanya, “memangnya apa yang kau harapkan dari penyihirmu itu?”
“Aku ingin agar dia menyihirku menjadi seorang putri yang kaya raya dan terkenal supaya aku tidak menderita lagi!” katanya polos biarpun ada secercah nada berharap dalam suaranya. “Oleh karena itu aku memakai gaunku satu-satunya, supaya saat penyihir datang dia melihatku dan menganggap aku pantas disihir menjadi orang kaya, bukan pengemis seperti teman-temanku..”
Kugelengkan kepalaku lembut-lembut dan tersenyum tipis, “nak, kebahagiaan bukan hanya terlihat dari kaya atau terkenal atau apapun—“
“Tapi aku tidak bahagia, aku menderita!” bentaknya tiba-tiba, “memangnya siapa kakak? Kakak sama sekali tidak mengenalku, tidak merasakan kepedihanku dan Ayah dan Ibu dan teman-temanku dan semuanya yang terus membanting tulang untuk bertahan hidup, diinjak-injak harga dirinya oleh orang-orang atas dan kaya seperti kakak!”
“Nak—“
Dia melanjutkan tanpa menghiraukanku, sekarang berteriak-teriak sehingga semua orang di jalan mendengarnya, “AKU BENCI HIDUP SEPERTI INI!! MENJADI JALANG DI JALANAN SEPERTI INI!! SEANDAINYA SAJA.. SEANDAINYA SAJA AKU JADI ORANG KAYA SUPAYA BISA MENGHAPUS SEMUA PENDERITAAN!! U..UKH..” air mata keluar dari sudut matanya.
Aku tediam menatapnya lama sekali, iba, sampai akhirnya berkata dingin kepadanya, “penyihirmu tidak akan datang.”
“Kenapa?” Tanyanya dengan nada yang agak pelan.
“Karena kau tidak mau berusaha dengan keras, jadi permintaanmu takkan terkabul.”
“Tapi aku sudah berusaha! Aku sudah berharap supaya penyihir datang dan menyihirku jadi kaya raya!”
“Dan itu semua tak cukup, perlu lebih dari sekedar usaha seperti itu untuk mencapainya nak,” kataku. Lalu tiba-tiba teringat dalam benakku memori masa kecilku, “tahukah kau, bahwa dulu aku juga jalang di jalanan sepertimu?”
Seperti yang sudah kuduga, dia tersentak kaget. “Tidak mungkin!” katanya.
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” balasku, “ya, aku sama sepertimu. Aku juga menderita. Namun aku tidak mengganti pakaian compang-campingku dengan jas atau semacamnya dan berharap supaya penyihir datang dan menyihirku. Tapi aku terus berusaha dan belajar dari penderitaanku. Lalu mulai saat itu, penderitaan yang membawaku maju, bukan diriku yang diseret oleh penderitaan—“
“—dan inilah hasilnya,” kataku akhirnya. Gadis itu memandang bergantian dengan kagum dari mulai setelan jas mahal, jam tangan emas sampai sepatu merk italia berkilau yang kukenakan.
“Aku... aku... aku ingin seperti kakak,” katanya malu-malu. “Bagaimana caranya?”
Berpikir sejenak, aku balik bertanya, “siapa namamu?”
Dia mengulurkan harmonika yang dari tadi digenggam tangannya terus-menerus. Di permukaannya tampak goresan-goresan cacat bertuliskan, “milik Adinda Siti Hajar”
“Bagus,” kataku. “Apakah kau sering memainkannya? Itukah bakatmu?”
Ia mengangguk.
“Hmm, bagaimana kalau nanti kau, eh, memainkannya di tempat yang agak besar, studio musik misalnya? Apa kau mau?”
“Tentu saja, itu cita-citaku.”
“Oke,” kataku senang. “Bagaimana kalau kita mendiskusikan hal ini sambil makan malam? Sepertinya kau sangat lapar..” Hatiku sedikit miris melihat badannya yang terkulai lemas karena kurang gizi dan makanan.
Ia mengangguk setuju; kami berdua makan malam di kafe faforitku—Adinda makan sangat lahap—dan setelah makan dia memainkan sebuah lagu dari harmonikanya sebagai tanda terima kasih. Penampilannya tidak sia-sia, bahkan sangat mengagumkan. Seluruh orang di kafe beraplaus untuknya dan dia tersenyum bangga. Tentu saja aku akan merekrut bakal bintang seperti ini ke dalam tim produksi hiburanku dan menjadikannya seorang yang benar-benar bersinar. Adinda setuju dengan usulku dan berjanji akan berusaha sebisanya. Setelah beberapa saat, dengan tiba-tiba ia berlari keluar menuju tong sampah dan melempar tongkat putihnya.
“Kenapa kau membuangnya?” tanyaku.
“Yah, tadinya kupikir dengan tongkat itu penyihir bakal datang dan menyihirku.. tapi seperti yang kakak katakan, ia takkan datang,” katanya. “Dan sekarang aku tahu, hanya akulah yang benar-benar bisa menyihir diriku sendiri untuk menjadi besar dan kaya raya.”
MUHAMMAD AMIRUDIN AZIZ
Aku memerhatikannya lama sekali tanpa gadis kecil itu sadar sedang kuperhatikan. Aku mengawasi gerak-geriknya di balik kaca kafe tempat di mana aku beristirahat, dan ia takkan bisa melihatku di sini karena gedung kafe ini berseberangan dengan kios tutup tempat anak itu meringkuk di depannya. Namun bila aku memerhatikannya dari dekat sekalipun sepertinya ia takkan menggubrisku sama sekali; sama seperti ketika ia tak menggubris puluhan orang yang lalu-lalang di depannya, memandang gadis itu dengan tatapan aneh...
Setidaknya seminggu dua kali setelah aku diterima bekerja di sebuah perusahaan produksi hiburan ternama di kota ini, aku selalu menyempatkan diri untuk hang-out sejenak seraya melepas kepenatan setelah berjam-jam bekerja. Kafe ini pilihanku. Aku pergi ke tempat ini sendirian atau ditemani beberapa teman, yang jelas suasananya kunikmati. Terkadang ada beberapa anak jalanan atau pengemis yang meminta-minta di sepanjang trotoar jalan yang ramai ini, semuanya wajar dan dapat dikenali. Dan anak ini? Aku baru melihatnya, dan—seperti kesan orang lain yang terbaca dari wajah mereka—anak ini aneh. Biarpun mengenakan gaun kumuh, tapi tetap saja itu gaun; rasanya kurang lazim untuk pengemis memakai gaun. Lalu kuperhatikan harmonika dan tongkat putihnya. Kedua mainan itu usang, namun tak berarti tak terawat. Terlalu banyak tanda perbaikan terlihat dari keduanya, meskipun aku melihatnya dari tempat jauh. Seakan-akan gadis itu ingin mempertahankan kesannya secara paksa, sebagai peri-perian atau apapun itu namanya. Tapi tetap saja itu ganjil bagiku.
Lalu siapa sebenarnya gadis itu? Apa yang dinantikannya, sejak tadi hanya meringkuk pilu sambil menggenggam boneka lusuh dan tongkat putih pucat?
Langit semakin gelap dan anak itu tetap saja meringkuk sendirian. Rasa penasaranku seperti dipermainkan. Akhirnya, menit berikutnya, kubiarkan kakiku melangkah keluar kafe dan berjalan menghampirinya.
“Sedang apa kau sendirian di sini, nak?” tanyaku setelah menghampirinya.
Gadis itu tidak langsung menjawab; ia masih sibuk meringkuk. Aku menatapnya dari dekat lama sekali, menunggunya, sampai akhirnya ia mengangkat kepalanya dan berkata, “aku sedang menunggu penyihir datang.”
“Penyihir?” Aku mengangangkat alis. “Oh, ayolah, nak, mana ada yang seperti itu? sebaiknya kau lekas pulang, karena langit sudah gelap sekarang..”
“Tidak mau,” katanya keras dengan nada tidak-bisa-ditawar-tawar-lagi.
Aku tersenyum dengan rasa setengah penasaran setengah geli. Penyihir, katanya. Rupanya gadis ini sedang berkhayal. Tidak ingin mengecewakan angan kekanakannya, dan alih-alih membujuknya pulang lagi, aku malah bertanya, “memangnya apa yang kau harapkan dari penyihirmu itu?”
“Aku ingin agar dia menyihirku menjadi seorang putri yang kaya raya dan terkenal supaya aku tidak menderita lagi!” katanya polos biarpun ada secercah nada berharap dalam suaranya. “Oleh karena itu aku memakai gaunku satu-satunya, supaya saat penyihir datang dia melihatku dan menganggap aku pantas disihir menjadi orang kaya, bukan pengemis seperti teman-temanku..”
Kugelengkan kepalaku lembut-lembut dan tersenyum tipis, “nak, kebahagiaan bukan hanya terlihat dari kaya atau terkenal atau apapun—“
“Tapi aku tidak bahagia, aku menderita!” bentaknya tiba-tiba, “memangnya siapa kakak? Kakak sama sekali tidak mengenalku, tidak merasakan kepedihanku dan Ayah dan Ibu dan teman-temanku dan semuanya yang terus membanting tulang untuk bertahan hidup, diinjak-injak harga dirinya oleh orang-orang atas dan kaya seperti kakak!”
“Nak—“
Dia melanjutkan tanpa menghiraukanku, sekarang berteriak-teriak sehingga semua orang di jalan mendengarnya, “AKU BENCI HIDUP SEPERTI INI!! MENJADI JALANG DI JALANAN SEPERTI INI!! SEANDAINYA SAJA.. SEANDAINYA SAJA AKU JADI ORANG KAYA SUPAYA BISA MENGHAPUS SEMUA PENDERITAAN!! U..UKH..” air mata keluar dari sudut matanya.
Aku tediam menatapnya lama sekali, iba, sampai akhirnya berkata dingin kepadanya, “penyihirmu tidak akan datang.”
“Kenapa?” Tanyanya dengan nada yang agak pelan.
“Karena kau tidak mau berusaha dengan keras, jadi permintaanmu takkan terkabul.”
“Tapi aku sudah berusaha! Aku sudah berharap supaya penyihir datang dan menyihirku jadi kaya raya!”
“Dan itu semua tak cukup, perlu lebih dari sekedar usaha seperti itu untuk mencapainya nak,” kataku. Lalu tiba-tiba teringat dalam benakku memori masa kecilku, “tahukah kau, bahwa dulu aku juga jalang di jalanan sepertimu?”
Seperti yang sudah kuduga, dia tersentak kaget. “Tidak mungkin!” katanya.
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini,” balasku, “ya, aku sama sepertimu. Aku juga menderita. Namun aku tidak mengganti pakaian compang-campingku dengan jas atau semacamnya dan berharap supaya penyihir datang dan menyihirku. Tapi aku terus berusaha dan belajar dari penderitaanku. Lalu mulai saat itu, penderitaan yang membawaku maju, bukan diriku yang diseret oleh penderitaan—“
“—dan inilah hasilnya,” kataku akhirnya. Gadis itu memandang bergantian dengan kagum dari mulai setelan jas mahal, jam tangan emas sampai sepatu merk italia berkilau yang kukenakan.
“Aku... aku... aku ingin seperti kakak,” katanya malu-malu. “Bagaimana caranya?”
Berpikir sejenak, aku balik bertanya, “siapa namamu?”
Dia mengulurkan harmonika yang dari tadi digenggam tangannya terus-menerus. Di permukaannya tampak goresan-goresan cacat bertuliskan, “milik Adinda Siti Hajar”
“Bagus,” kataku. “Apakah kau sering memainkannya? Itukah bakatmu?”
Ia mengangguk.
“Hmm, bagaimana kalau nanti kau, eh, memainkannya di tempat yang agak besar, studio musik misalnya? Apa kau mau?”
“Tentu saja, itu cita-citaku.”
“Oke,” kataku senang. “Bagaimana kalau kita mendiskusikan hal ini sambil makan malam? Sepertinya kau sangat lapar..” Hatiku sedikit miris melihat badannya yang terkulai lemas karena kurang gizi dan makanan.
Ia mengangguk setuju; kami berdua makan malam di kafe faforitku—Adinda makan sangat lahap—dan setelah makan dia memainkan sebuah lagu dari harmonikanya sebagai tanda terima kasih. Penampilannya tidak sia-sia, bahkan sangat mengagumkan. Seluruh orang di kafe beraplaus untuknya dan dia tersenyum bangga. Tentu saja aku akan merekrut bakal bintang seperti ini ke dalam tim produksi hiburanku dan menjadikannya seorang yang benar-benar bersinar. Adinda setuju dengan usulku dan berjanji akan berusaha sebisanya. Setelah beberapa saat, dengan tiba-tiba ia berlari keluar menuju tong sampah dan melempar tongkat putihnya.
“Kenapa kau membuangnya?” tanyaku.
“Yah, tadinya kupikir dengan tongkat itu penyihir bakal datang dan menyihirku.. tapi seperti yang kakak katakan, ia takkan datang,” katanya. “Dan sekarang aku tahu, hanya akulah yang benar-benar bisa menyihir diriku sendiri untuk menjadi besar dan kaya raya.”
MUHAMMAD AMIRUDIN AZIZ
Mimpi Dalam Mimpi
Karya : Aini Zahra Amini
Di sebuah desa di atas bukit, tinggallah seorang anak berumur 13 tahun yang bernama Wala. Wala hidup bersama dengan neneknya, orang tuanya sudah meninggal sejak ia berumur 10 tahun. Saat itu Wala dan orang tuanya sedang piknik, saat perjalanan pulang terjadi kecelakaan, dan hanya Wala yang selamat. Wala anak yang baik hati dan periang. Libur musim panas tiba, waktunya Wala liburan. Suatu hari, ia menemukan penutup mata dari gudang belakang rumahnya. “Nenek, penutup mata ini punya nenek bukan?”, tanya Wala pada neneknya, “emm, sepertinya nenek tidak punya barang yang seperti itu cu, kalau begitu untukmu saja.”, Wala pun mengangguk dan menyimpan penutup mata tersebut di kamarnya.
Malamnya, Wala seperti biasa susah tidur karena membayangkan orang tuanya. Wala pun teringat dengan penutup mata yang ia temukan, akhirnya Wala memakainya dan segera tidur. Dalam mimpi, Wala sedang berada di sebuah rumah. Ternyata itu rumahnya sendiri, ia melihat ada neneknya sedang duduk di teras rumahnya. Tiba-tiba, ia melihat ada mobil truk yang sedang berjalan dengan kecepatan yang tinggi, lalu menghantam neneknya sampai meninggal. Wala pun terbangun dengan muka keringatan. Wala meyakini diri sendiri kalau itu hanya mimpi, Wala lalu pergi mandi.
Selesai mandi, Wala melihat neneknya sedang duduk di teras persis seperti yang ada dalam mimpinya, ia juga melihat ada mobil truk yang sedang berjalan dengan kecepatan yang tinggi. Wala pun langsung lari menghampiri neneknya, dan langsung menarik neneknya untuk menyingkir dari tempat duduknya. Dan mobil truk itu akhirnya hanya menabrak kursi tempat neneknya tadi duduk.
“Terima kasih cu, nenek tidak tau kalau tadi ada mobil truk, mengerikan ya?”, Wala hanya terpaku diam, seakan-akan ia tidak tahu apa yang telah ia lakukan tadi, “o...oh, iya nek, mengerikan.”. Malamnya, Wala tidur dan menggunakan lagi penutup mata tersebut, dan ia bermimpi lagi.
Dalam mimpinya, ia sedang bertemu dengan seorang anak yang sebaya dengannya, lalu anak tersebut tersenyum padanya dan ternyata anak tersebut adalah sahabatnya semasa SD. Saat sahabatnya akan menghampirinya, tiba-tiba sahabatnya tersebut tertabrak oleh bus, dan sahabatnya tewas seketika. Wala pun terbangun, “kenapa mimpinya serem mulu ya? Padahal sebelum tidur aku berdoa deh?”, kata Wala yang sedang kebingungan. “Wala! Ayo kemari!”, kata neneknya. Wala pun segera keluar kamar, “ada apa nek?”, tanya Wala pada neneknya.
“Kamu belum mandi? Nenek mau minta bantuanmu, tapi mandi dulu sana!”, kata neneknya yang menyuruh cucunya untuk mandi terlebih dahulu. Selesai mandi, Wala langsung menghampiri neneknya. “Wala, tolong antarkan makanan ini ke rumahnya Bu Juju ya! Soalnya dia udah memesan makanan ini dari kemarin.”, “oh, beres nek. Wala pergi dulu. Assalamualaikum.”, kata Wala, “waalaikumsalam.”.
Di perjalanan, Wala mendengar seperti ada orang yang sedang memenggilnya. Saat menengok, ternyata ada seseorang berambut panjang dikuncir dan berponi, dialah sahabat semasa SD-nya. “Tuti!”, kata Wala gembira. “Hai Wala! Tunggu ya, aku nyebrang dulu.”, saat itu juga Wala jadi teringat dengan mimpinya. Segera, Wala menyuruh Tuti untuk tetap diam di tempat ia berdiri, Tuti pun menurutinya. Ternyata ada bus, dan bus itu pun melaju di depan mata mereka.
“Wala, makasih ya untung ada kamu.”, kata Tuti. “Hah? Makasih buat apa?”, tanya Wala yang kebingungan. “Itu loh yang tadi. Aku mau nyebrang tapi ga liat ada bus, makasih ya.”, “oh. i...iya sama-sama.”, kata Wala. Dalam hatinya “memang tadi aku habis ngapain ya?”. Tuti akhirnya membantu Wala untuk mengantarkan makanan yang tadi dititipkan.
Selesai itu, mereka pergi ke taman dekat danau. Di sana mereka bercerita tentang banyak hal. “Loh koq gitu? Jadi, kamu pasti mimpiin hal yang bakal terjadi kalau kamu pakai penutup mata yang kamu temuin, gitu?”, tanya Tuti pada Wala. “Iya, ngeri deh.”, kata Wala kepada Tuti. “Wah. Ajib dong?”, kata Tuti, “koq ajib sih?”, tanya Wala. “Maksudnya aneh bin ajaib hehehe, udah ya aku pulang dulu. Sampai ketemu lagi.”.
Wala dan Tuti pun pulang ke rumahnya masing-masing. Malam semakin gelap, tapi Wala masih belum tidur. Wala takut kalau ia akan bermimpi lagi. Tapi, akhirnya Wala tertidur juga, namun ia tertidur tanpa menggunakan penutup mata yang ia temukan. Keesokan harinya, saat ia bangun ia merasa pusing dan mual. “Wala, kamu kenapa cu?”, tanya neneknya, “ah engga apa-apa nek, mungkin cuma masuk angin aja.”, jawab Wala.
Akhirnya seharian, Wala hanya berbaring di kasurnya dan bergumam, “aneh ya? Masa aku jadi sakit gara-gara semalam aku ngga pake penutup matanya? Biasanya kan aku ngga pernah begitu?”. Malamnya, Wala menggunakan penutup mata tersebut, dan bermimpi. Ada dua pasang suami isteri, saat Wala mendekat, ia terkejut dan akhirnya terbangun dari mimpinya itu. “Apa bener ya mimpi itu? Ah, tapi masa sih?”, tanya Wala.
Tiba saatnya masuk sekolah lagi, ternyata kedatangan Tuti beberapa hari yang lalu adalah untuk pindah sekolah ke sekolahnya Wala, dan mereka sekarang sekelas dan menjadi teman sebangku. “Hai Wala, maaf ya. Waktu kita ketemu aku lupa bilang kalau aku pindah ke sini, hehehe.”, “iya ga apa-apa, justru aku malah seneng kamu di sini.”, kata Wala. Saat pulang sekolah, Wala pulang bersama Tuti, karena Tuti berencana mau main sebentar ke rumahnya Wala. Sesampainya meraka di rumah Wala, mereka saling curhat.
“Masa aku baru pindah dari Balikpapan, mesti ikut lagi Papa ke Serang coba? Ya udah deh, akhirnya aku putusin buat tinggal selamanya di sini dan akhirnya Mama jadi nemenin aku di sini hehehe, tapi kasian juga sih Papa di Serang jadi sendirian.”, kata Tuti yang dari tadi ngomong terus dan akhirnya memperhatikan temannya Wala.
“Kamu kenapa Wal? Aku ngebosenin ya cerita terus?”, “hah? Ngga, justu aku seneng kamu mau cerita ke aku. Cuma aku lagi kepikiran aja.”, kata Wala. “Mikirin apaan? Mikirin mimpi yang semalam ya? Cie, mimpi apa nih?”, tanya Tuti, Wala hanya tertunduk diam dan akhirnya berbicara. “Aku semalam mimpi ketemu sama orang tuaku.”, kata Wala, “hah? Em, maksud aku kan orang taumu...”, “aku tau, tapi aku takut ini cuma buat aku bahagia ga jelas aja.”, jelas Wala. Mereka terdiam, “mungkin yang satu ini benar cuma bunga tidur doang kali.”, kata Tuti menenangkan Wala, “hmm, aku harap begitu.”.
Keesokan harinya. “Jadi gimana? Mimpi yang waktu itu kamu ceritain, ga kejadian kan?”, tanya Tuti. Wala menggeleng, “aku takut punya benda yang kayak gituan, jadi semalam aku ngga pake lagi dan rencananya mau aku buang nanti.”, “oh, itu sih pilihanmu, tapi apapun keputusanmu aku sih mendukung, asal itu keputusan baik loh.”, kata Tuti.
Saat pulang sekolah, Wala bersama Tuti pergi ke suatu tempat. Mereka pergi ke tempat pembuangan sampah, mereka lalu membuang penutup mata tersebut dan langsung pergi. Di perjalanan pulang, Wala mendengar ada seseorang yang sedang memanggil namanya. Saat menengok, Wala melihat ada sepasang suami isteri yang berjalan mendekatinya. “Ayah? Ibu?”, teriak Wala.
Mereka pun berpelukan, “ayah sama ibu kemana aja? Wala dan nenek mengira ayah dan ibu sudah...”, Wala pun menangis. “Sudah jangan nangis, ibu dan ayah tidak kemana-mana kami kan selalu ada di hatimu.”. Begitu terbangun, Wala sedang berada di kamarnya dan ia menyadari kalau itu semua hanya mimpi. Namun, mimpi tersebut akhirnya benar-benar terjadi, saat ia menyadari penutup mata yang ia temukan menghilang.
Di sebuah desa di atas bukit, tinggallah seorang anak berumur 13 tahun yang bernama Wala. Wala hidup bersama dengan neneknya, orang tuanya sudah meninggal sejak ia berumur 10 tahun. Saat itu Wala dan orang tuanya sedang piknik, saat perjalanan pulang terjadi kecelakaan, dan hanya Wala yang selamat. Wala anak yang baik hati dan periang. Libur musim panas tiba, waktunya Wala liburan. Suatu hari, ia menemukan penutup mata dari gudang belakang rumahnya. “Nenek, penutup mata ini punya nenek bukan?”, tanya Wala pada neneknya, “emm, sepertinya nenek tidak punya barang yang seperti itu cu, kalau begitu untukmu saja.”, Wala pun mengangguk dan menyimpan penutup mata tersebut di kamarnya.
Malamnya, Wala seperti biasa susah tidur karena membayangkan orang tuanya. Wala pun teringat dengan penutup mata yang ia temukan, akhirnya Wala memakainya dan segera tidur. Dalam mimpi, Wala sedang berada di sebuah rumah. Ternyata itu rumahnya sendiri, ia melihat ada neneknya sedang duduk di teras rumahnya. Tiba-tiba, ia melihat ada mobil truk yang sedang berjalan dengan kecepatan yang tinggi, lalu menghantam neneknya sampai meninggal. Wala pun terbangun dengan muka keringatan. Wala meyakini diri sendiri kalau itu hanya mimpi, Wala lalu pergi mandi.
Selesai mandi, Wala melihat neneknya sedang duduk di teras persis seperti yang ada dalam mimpinya, ia juga melihat ada mobil truk yang sedang berjalan dengan kecepatan yang tinggi. Wala pun langsung lari menghampiri neneknya, dan langsung menarik neneknya untuk menyingkir dari tempat duduknya. Dan mobil truk itu akhirnya hanya menabrak kursi tempat neneknya tadi duduk.
“Terima kasih cu, nenek tidak tau kalau tadi ada mobil truk, mengerikan ya?”, Wala hanya terpaku diam, seakan-akan ia tidak tahu apa yang telah ia lakukan tadi, “o...oh, iya nek, mengerikan.”. Malamnya, Wala tidur dan menggunakan lagi penutup mata tersebut, dan ia bermimpi lagi.
Dalam mimpinya, ia sedang bertemu dengan seorang anak yang sebaya dengannya, lalu anak tersebut tersenyum padanya dan ternyata anak tersebut adalah sahabatnya semasa SD. Saat sahabatnya akan menghampirinya, tiba-tiba sahabatnya tersebut tertabrak oleh bus, dan sahabatnya tewas seketika. Wala pun terbangun, “kenapa mimpinya serem mulu ya? Padahal sebelum tidur aku berdoa deh?”, kata Wala yang sedang kebingungan. “Wala! Ayo kemari!”, kata neneknya. Wala pun segera keluar kamar, “ada apa nek?”, tanya Wala pada neneknya.
“Kamu belum mandi? Nenek mau minta bantuanmu, tapi mandi dulu sana!”, kata neneknya yang menyuruh cucunya untuk mandi terlebih dahulu. Selesai mandi, Wala langsung menghampiri neneknya. “Wala, tolong antarkan makanan ini ke rumahnya Bu Juju ya! Soalnya dia udah memesan makanan ini dari kemarin.”, “oh, beres nek. Wala pergi dulu. Assalamualaikum.”, kata Wala, “waalaikumsalam.”.
Di perjalanan, Wala mendengar seperti ada orang yang sedang memenggilnya. Saat menengok, ternyata ada seseorang berambut panjang dikuncir dan berponi, dialah sahabat semasa SD-nya. “Tuti!”, kata Wala gembira. “Hai Wala! Tunggu ya, aku nyebrang dulu.”, saat itu juga Wala jadi teringat dengan mimpinya. Segera, Wala menyuruh Tuti untuk tetap diam di tempat ia berdiri, Tuti pun menurutinya. Ternyata ada bus, dan bus itu pun melaju di depan mata mereka.
“Wala, makasih ya untung ada kamu.”, kata Tuti. “Hah? Makasih buat apa?”, tanya Wala yang kebingungan. “Itu loh yang tadi. Aku mau nyebrang tapi ga liat ada bus, makasih ya.”, “oh. i...iya sama-sama.”, kata Wala. Dalam hatinya “memang tadi aku habis ngapain ya?”. Tuti akhirnya membantu Wala untuk mengantarkan makanan yang tadi dititipkan.
Selesai itu, mereka pergi ke taman dekat danau. Di sana mereka bercerita tentang banyak hal. “Loh koq gitu? Jadi, kamu pasti mimpiin hal yang bakal terjadi kalau kamu pakai penutup mata yang kamu temuin, gitu?”, tanya Tuti pada Wala. “Iya, ngeri deh.”, kata Wala kepada Tuti. “Wah. Ajib dong?”, kata Tuti, “koq ajib sih?”, tanya Wala. “Maksudnya aneh bin ajaib hehehe, udah ya aku pulang dulu. Sampai ketemu lagi.”.
Wala dan Tuti pun pulang ke rumahnya masing-masing. Malam semakin gelap, tapi Wala masih belum tidur. Wala takut kalau ia akan bermimpi lagi. Tapi, akhirnya Wala tertidur juga, namun ia tertidur tanpa menggunakan penutup mata yang ia temukan. Keesokan harinya, saat ia bangun ia merasa pusing dan mual. “Wala, kamu kenapa cu?”, tanya neneknya, “ah engga apa-apa nek, mungkin cuma masuk angin aja.”, jawab Wala.
Akhirnya seharian, Wala hanya berbaring di kasurnya dan bergumam, “aneh ya? Masa aku jadi sakit gara-gara semalam aku ngga pake penutup matanya? Biasanya kan aku ngga pernah begitu?”. Malamnya, Wala menggunakan penutup mata tersebut, dan bermimpi. Ada dua pasang suami isteri, saat Wala mendekat, ia terkejut dan akhirnya terbangun dari mimpinya itu. “Apa bener ya mimpi itu? Ah, tapi masa sih?”, tanya Wala.
Tiba saatnya masuk sekolah lagi, ternyata kedatangan Tuti beberapa hari yang lalu adalah untuk pindah sekolah ke sekolahnya Wala, dan mereka sekarang sekelas dan menjadi teman sebangku. “Hai Wala, maaf ya. Waktu kita ketemu aku lupa bilang kalau aku pindah ke sini, hehehe.”, “iya ga apa-apa, justru aku malah seneng kamu di sini.”, kata Wala. Saat pulang sekolah, Wala pulang bersama Tuti, karena Tuti berencana mau main sebentar ke rumahnya Wala. Sesampainya meraka di rumah Wala, mereka saling curhat.
“Masa aku baru pindah dari Balikpapan, mesti ikut lagi Papa ke Serang coba? Ya udah deh, akhirnya aku putusin buat tinggal selamanya di sini dan akhirnya Mama jadi nemenin aku di sini hehehe, tapi kasian juga sih Papa di Serang jadi sendirian.”, kata Tuti yang dari tadi ngomong terus dan akhirnya memperhatikan temannya Wala.
“Kamu kenapa Wal? Aku ngebosenin ya cerita terus?”, “hah? Ngga, justu aku seneng kamu mau cerita ke aku. Cuma aku lagi kepikiran aja.”, kata Wala. “Mikirin apaan? Mikirin mimpi yang semalam ya? Cie, mimpi apa nih?”, tanya Tuti, Wala hanya tertunduk diam dan akhirnya berbicara. “Aku semalam mimpi ketemu sama orang tuaku.”, kata Wala, “hah? Em, maksud aku kan orang taumu...”, “aku tau, tapi aku takut ini cuma buat aku bahagia ga jelas aja.”, jelas Wala. Mereka terdiam, “mungkin yang satu ini benar cuma bunga tidur doang kali.”, kata Tuti menenangkan Wala, “hmm, aku harap begitu.”.
Keesokan harinya. “Jadi gimana? Mimpi yang waktu itu kamu ceritain, ga kejadian kan?”, tanya Tuti. Wala menggeleng, “aku takut punya benda yang kayak gituan, jadi semalam aku ngga pake lagi dan rencananya mau aku buang nanti.”, “oh, itu sih pilihanmu, tapi apapun keputusanmu aku sih mendukung, asal itu keputusan baik loh.”, kata Tuti.
Saat pulang sekolah, Wala bersama Tuti pergi ke suatu tempat. Mereka pergi ke tempat pembuangan sampah, mereka lalu membuang penutup mata tersebut dan langsung pergi. Di perjalanan pulang, Wala mendengar ada seseorang yang sedang memanggil namanya. Saat menengok, Wala melihat ada sepasang suami isteri yang berjalan mendekatinya. “Ayah? Ibu?”, teriak Wala.
Mereka pun berpelukan, “ayah sama ibu kemana aja? Wala dan nenek mengira ayah dan ibu sudah...”, Wala pun menangis. “Sudah jangan nangis, ibu dan ayah tidak kemana-mana kami kan selalu ada di hatimu.”. Begitu terbangun, Wala sedang berada di kamarnya dan ia menyadari kalau itu semua hanya mimpi. Namun, mimpi tersebut akhirnya benar-benar terjadi, saat ia menyadari penutup mata yang ia temukan menghilang.
